Saturday, April 23, 2011

Beberapa UU Pidana Penting

  1. UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang:
    bahwa sebelum dapat melakukan pembentukan Undang-Undang hukum pidana baru, perlu peraturan hukum pidana disesuaikan dengan keadaan sekarang;

    Menimbang :
    akan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar serta Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2;
    Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;

    MEMUTUSKAN :
    Menetapkan :
    peraturan sebagai berikut :
    UNDANG-l'NDANG TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA

    Pasal I
    Dengan menyimpang seperlunya dari peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal lO.Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.

    Pasal 2
    Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan oleh panglima tertinggi balatentara Hindia-Belanda dulu (veror-deningen van het Militair Gezag) dicabut.

    Pasal 3
    Jikalau dalam sesuatu peraturan hukum pidana tertulis perkataan-perkataan "Nederlandsch-Indie" atau "Nederlandsch-Indisch (e) (en)", maka perkataan-perkataan itu harus dibaca "Indonesia" atau "Indonesisch (e) (en)".

    Pasal 4
    Jikalau di dalam sesuatu peraturan hukum pidana suatu hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan diberikan atau suatu larangan ditujukan kepada sesuatu pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang sekarang tidak ada lagi, maka hak, kewajiban, kekuasaan atau perlindungan itu harus dianggap diberikan dan larangan tersebut ditujukan kepada pegawai, badan, jawatan dan sebagainya, yang harus dianggap menggantinya.

    Pasal 5
    Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.

    Pasal 6
    (1) Nama Undang-Undang Hukum Pidana "Wetbcek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie" dirobah menjadi "Wetboek van Strafrecht".
    (2) Undang-Undang tersebut dapat disebut: "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana".

    Pasal 7
    Dengan tidak mengurangi apa yang ditetapkan dalam pasal 3, maka semua perkataan "Nederlandsch-onderdaan" dalam Kitab Undang-Undang Hukum 'Pidana diganti dengan "Warga Negara Indonesia".

    Pasal 8
    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dirobah sebagai berikut :
    1. Dalam pasal 4, ayat 1 ke le angka-angka "104.108 harus dibaca "104, 106, 107 en 108" dan angka-angka "103-133 dibaca "131".

    2. Perkataan "Directeur van Justitie" dalam pasal 15b diganti dengan "Minister van Justitie".

    3. Pasal 16 dirobah sebagai berikut :
    a. Perkataan "Directeur van Justitie" harus dibaca "Minister van Justitie".
    b. bagian kalimat voorzoover betreft de Gouvernement¬slanden van Java en Madoera, van den assistant¬resident en elders van het hoofd van plaatselijk bes¬tuur" diganti dengan "van den jaksa" dan perkata¬an "Gouverneur-Generaal" dlganti dengan "Minister van Justitie".
    c. bagian kalimat : "in de Gouvernementslanden van Java en Madoera op bavel den assistent-resident en elders van het hoofd van plaatselijk bestuur" dalam ayat 3 diganti dengan "op bevel van den Jaksa".

    4. Dalam pasal 20 perkataan "het hoofd van plaatselijk bestuur (den agsisten-resident)" diganti dengan "den jaksa".

    5. Dalam pasal 21, perkataan "Directeur van Justitie" diganti dengan "Minister van Justitie".

    6. Dalvm pasal 29, ayat (2)m perkataan "Directeur van justitie" diganti dengan "Minister van Justitie".

    7. Dalam pasal 33a, perkataan "Gouverneur-Generaal", diganti dengan "President".

    8. Dalam pasal 44, ayat 3, perkataan "de Europeesche rechtbanken, diganti dengan "Mahkamah Agung, Peng¬adilan Tinggi".

    9. Pasal 76 dirobah sebagai berikut :
    a. bagian kalimat, "of van den rechter in Nederland of in Suriname of in Curacao", dihapuskan.
    b. perkataan "inheemsche" dan "Inlandsche" dihapus¬kan.

    lO.Dalam pasal 92, bagian kalimat : "den Volksraad, van den proviciale raden en van de raden ingesteld inge¬volge artikel 121, Iweede lid en artikel 124 tweede lid der Indische Staatsregeling" diganti dengan "en door of namens de regeering ingesteld wetgevend, besturend of volksvertegenwoordigend lichaam".

    11.Pasa1 94 dihapuskan.

    12.Dalam pasal 104 perkataan-perkataan "den Koning, de regeerende Koningin of den Regent" diganti de¬ngan "den President of den Vice-President".

    13.Pasal 105 dihapuskan.

    14.Dalam pasal 110 ayat (1) dan ayat (2) angka-angka "104-108" 6arus dibaca "104-106-107 en 108".

    15.Dalam pasal 111 perkataan "hetzij" dan bagian kalimat "hetzij met een Indische vorst of volk" dihapuskan.

    16.Dalam pasal 112 dan 121 bagian kalimat "een Indische vorst of volk" dihapuskan.

    17.Dalam pasal 117 No. 3 perkataan "Gouverneur-Gene¬raal van Nederlandsch-Indie" harus dibaca "President".

    18.Dalam pasal 122 dan 123 perkataan "Nederland" ha¬rus dibaca "lndonesie".

    19.Dalam pasal 128 bagian kalimat "een der in de arti¬kelen 104 en 105 omschreven misdrijven" diganti dengan "het in artikel 104 omschreven misdrijf".

    20.Kepala Bab II diganti sebagai berikut : "Misdrijven te¬gen de waardigheid van den President en van den Vice¬President".

    21.Pasa1130 dihapuskan.

    22.Dalam pasal 131 perkataan "des Konings of der Koningin" diganti dengan "van den President of van den Vice-President".

    23.Pasal 132 dan 133 dihapuskan.

    24.Dalam pasal 134 perkataan-perkataan "Koning of der Koningin diganti dengan "president"of den Vice-Pre¬sident".

    25.Pasa1-pasal 135 dan 136 dihapuskan.

    26.Dalam pasal 136 bis bagian kalimat: "de artikelen 134, 135 en 136" harus dibaca "artikel 134".

    27.Dalam pasal 137 bagian kalimat: "den Koning, de Ko¬ningin; den gemaal der regeerende Koningin, den tro¬onopvolger, een lid van het Koninklijk Huis of den Regent" harus dibaca "den President of den Vice¬President".

    28.Pasa1 138 dihapuskan.

    29.Pasa1 139 dirobah sebagai berikut : a. ayat(1) dihapuskan.

    b. dalam ayat (2) bagian kalimat: "een der in de arti¬kelen 131-133 omschleven misdrijven" harus dibaca "het in artik,el 131 omschreven misdrijf'.

    c. dalam ayat (3) bagian kalimat: "een der artikelen 134-136 omschreven misdrijven" harus dibaca "het art. 134 - omschreven misdrijf".

    30.Perkataan "Nederlandsche" dalam pasal 143 dan 144 harus dibaca "Indonesische".

    31.Dalam pasal 146 clan 147 bagian-bagian kalimat: "den Volksraad, van een provinciaten raad of van een raad ingesteld ingevolge artikel 121 tweede lid, dan wel ingevolge artikel 124 tweede lid, der Indische Statas¬regeling" harus dibaca "een door of namens de Re¬geering ingesteld wetgevend, besturend of volksverge¬tegenwoordigend lichaam".

    32.Pasa1 153 bis dan pasal 153 ter dihapuskan.

    33.Dalam pasal 154 dan 155 bagian kalimat: "Nederland of van Nederlandsch-Indie" harus dibaca "Indonesie". 34.Pasal 161 bis dihapuskan.

    35.Dalam pasal 164 angka-angka "104-108" dan "115-133" masing-masing harus dibaca "104, 106, 107 en 108" dan "115-129 en 131".

    37.Pasa1171 dihapuskan.

    38.Dalam pasal 207- dan 208 bagian kalimat: "Nederland of in Nederlandsch-Indie" harus dibaca "Indonesie". 39.Dalam pasal 210 ayat (1) ke 2 bagian kalimat: "dan wel van een inlandschen officier van Justitie" dihapus¬kan.

    40.Dalam pasal 228 bagian kalimat: "vier maanden en twee weken" diganti dengan "twee jeren".

    41.Pasal 230, dihapuskan. Pasa1171 dihapuskan
    42.Dalam pasal 234 di belakang perkataan-perkataan "in een postbus gestoken" ditambah dengan perkataan "dan well aan een koerier toevertrouwd".

    43.Dalam pasal 238 perkataan "Gouverneur-Generaal" harus dibaca"Presiden"
    44.Pasal 239 dirobah sebagai berikut :
    a. bagian kalimat: "buiten de gevallen waarin het krach¬ten algemeene verordening veroorloofd is, zonder toestemming van den Gouverneur-Generaal" dihapus¬kan.
    b. perkataan "Inlander" diganti dengan "Warga Negara Indonesia".

    45.Dalam ppsal 240 ayat (1) No. I bagian kalimat: "167 der Indische Staatsregeling" harus dibaca "30 der Un¬dang-Undang Dasar".

    46.Dalam pasal 253 clan 260 perkataan-perkataan "van rij-kswege of' dihapuskan.

    47.Dalam pasal 260 bis bagian-bagian kalimat : "hetzij Suriname of Curacao" dan "hetzij, voorzoover merken betreft van Nederland" dihapuskan.

    48.Dalam pasal 274 perkataan "Inlandsch" dihapuskan.

    49. Dalam pasal 420, ayat (1) No. 2 bagian kalimat: "van wel de Inlandsche Officier van Justitie die" dihapus¬kan.

    50. Dalam pasal 447, 448 dan 449 perkataan "Nederlandsch of" dihapuskan.
    51.Dalam pasal 450 dan 451 perkataan "Nederlandsche Reggering" diganti dengan "Indonesische Regeering".

    52.Dalam pasal-pasal 453-454, 455 dan 458 ayat (1) perka taan "Nederlandsch of' dihapuskan.

    53.Dalam pasal 458 ayat (2) perkataan "Nederlandschen" diganti dengan "Indonesischen".

    54.Dalam pasal 459 ayat (1), 461, 463, 464 ayat (1), 466, 467, ,468, 469 ayat (1), 470 dan 471 perkataan "Neder¬landsch of' dihapuskan.

    55.Dalam pasal 473 dan 474 perkataan-perkataan "Neder-landsch.(e)" diganti dengan "Indonesisch (e)".

    56.Dalam pasal-pasal 475, 476 dan 477 perkataan-perka¬taan "Nederlandsch of' dihapuskan.

    57.Pasa1 487 dirobah sebagai berikut :
    a. angka-angka dan perkataan-perkataan "130, eerste lid dan 105" dihapuskan.
    b. angka-angka "131-133" harus dibaca "131".
    58.Dalam pasal 490 no. 4 bagian kalimat "aan het hoofd van plaatselijk bestuur" den assistent-resident diganti dengan "aan het Hoofd van de politie".

    59. Dalam pasal 495, ayat (1) bagian kalimat: "bet hoofd van plaatselijk bestuur" den regent diganti dengan "bet hoofd van de politie".

    60.Dalam pasal 496 bagian kalimat: "bet hoofd van plaat¬selijk bestuur" den assistent-resident diganti dengan "bet hoofd van de politie".

    61. Dalam pasal 500 bagian kalimat: "bet hoofd van plat¬selijk bestuur" de resident, diganti dengan "bet hoofd van de politie".

    62. Dalam pasal 501 ayat (1) no. 2 bagian kalimat: "bet hoofd van plaatselijk bestuur" de assistent-resident di¬ganti dengan "bet hoofd van de politie".

    63.Pasal 507 dirobah sebagai berikut :
    a. bagian "le" dibaca demikian:
    "hij, die zondgr daartoe gerechtigd to zijn, een In-donesischen adelijken titel voert, of een Indoesischen ordeteeken draagt".
    b. perkataan-perkataan "s Konings verlof" harus dibaca "verlof van den President".

    64.Dalam pasal 508 bis bagian kalimat: "van een zelfstan-dige gemeenschap als bedoeld in artikel 121 eerste ,od pf artikel 123 tweede lid der Indische Staatsregeling clan welvan een waershcap harus dibaca "van een bij de wet investelde of erkende zelfstandige gemeensehap".

    65. Dalam pasal 510 bagian kalimat: "bet hoofd van plaat¬
    selijk bestuur" den resident harus dibaca "bet hoofd van
    de politie".

    66.Dalam pasal 516 bagian kalimat: "bet hoofd van plaa`t-selijk bestuur of aan de door dezen aangewezen" dan door den resident aan te wijzen harus dibaca "bet hoofd van de politie of den door dezen aangewezen".

    67.Dalam pasal 542 bagian kalimat: "bet hoofd van plaat¬selijk bestuur" den assistent-resident harus dibaca "den daartoe aangewezen ambtenaar"
    68. Dalam pasal 544 (1) bagian kalimat : "bet hoofd van plaatselijk bestuur" den regent harus dibaca "bet hoofd van de politie".


    Pasal 9
    Barang siapa membikin benda semacam mata uang kertas dengan maksud untuk menjalankannya atau menyu¬ruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang syah,
    dihukum dengan hukuman penjara, setinggi-tingginya lima belas tahun.
    Pasal 10
    Barang siapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang atau uang kertas sedang ia sewaktu menerimanya mengetahui atau setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa benda-benda itu oleh pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, atau dengan maksud untuk menjalankannya atau menyu= ruh menjalankannya sebagai alat pembayaran yang sah, menyediakannya atau memasukkannya ke dalam Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.

    Pasal ll
    Barangsiapa dengan sengaja menjalankan sebagai alat pembayaran yang sah mata uang kertas yang dari pihak Pemerintah tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah dalam hal di luar keadaan sebagai yang tersebut dalam pasal yang baru lalu dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima belas tahun.

    Pasal 12
    Barang siapa menerima sebagai alat pembayaran atau penukaran atau sebagai hadiah atau penyimpan atau meng¬angkut mata uang atau uang kertas, sedangkan ia menge¬tahui, bahwa benda-benda itu oleh pihak Pemerintah tidak diakui sebagai slat pembayaran yang sah, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya lima tahun.

    Pasal 13
    Kalau orang dihukum karena melakukan salah satu ke-jahatan seperti tersebut dalam pasal 9, 10, 11 dan 12 maka mata uang atau uang kertasnya serta benda lain yang di¬pergunakan untuk melakukan salah satu kejahatan itu dirampas, juga kalau benda-benda itu bukan kepunyaan terhukum.

    Pasal 14
    Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberi¬tahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat; dihukum-dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
    (2) Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluar¬kan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat me¬nyangka bahwa berita atau pemberitahuan -itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

    Pasal 15
    Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat men¬duga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat me¬nerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.

    Pasal 16
    Barangsiapa terhadap bendera kebangsaan Indonesia 4engan sengaja menjalankan sesuatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghinaan kebangsaan, dihukwn dengan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan.

    Pasal 17
    Undang-Undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.
    Agar undang-undang ini diketahui umum, maka d1¬perintahkan supaya diumumkan sebagai biasa.

    Ditetapkan di Jogyakarta pada tanggal 26 Pebruari 1946 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SOEKARNO
    MENTERI KEHAKIMAN, ttd. SOEWANDI
    Diumumkan pada tanggal 26 Pebruari 1946 SEKRETARIS NEGARA, ttd. A.G. PRINGGODIGDO
  2. UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 1946 TENTANG HUKUMAN TUTUPAN

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang:
    bahwa perlu mengadakan hukuman pokok baru, selain dari pada hukuman tersebut dalam pasal 10 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pasal 6 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara.

    Mengingat :
    pasal 20 ayat 1 berhubung dengan pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar dan Maklumat Wakil Pre¬siden tertanggal 16 Oktober 1945,. No. X;


    Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat.

    MEMUTUSKAN :
    Menetapkan:
    Peraturan sebagai berikut :

    UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUMAN TUTUPAN


    Pasal 1
    Selain daripada hukuman pokok tersebut dalam pasal 10 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 6 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara adalah hukuman pokok baru, yaitu hukuman tutupan yang menggantikan hukuman penjara dalam hal tesebut dalam pasal 2.

    Pasal 2
    (1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena ter¬dorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim bo¬leh menjatuhkan hukuman tutupan.
    (2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan per¬buatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukum¬an penjara lebih pada tempatnya.

    Pasal 3
    (1) Barang siapa dihukum dengan hukuman tutupan, wa¬jib menjalankan pekerjaan yang diperintahkan kepa¬danya menurut peraturan-peratwan yang ditetapkan berdasarkan pasal5.
    (2) Menteri yang bersangkutan atau pegawai yang ditun¬juknya berhak atas permintaan terhukum membebas¬kannya dari kewajiban yang dimaksudkan dalam ayat 1.

    Pasal 4
    Semua peraturan yang mengenai hukuman penjara ber¬laku juga terhadap hukuman tutupan, lika peraturan-per¬aturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan.

    Pasal 5
    (1) Tempat untuk menjalani hukuman tutupan cara me¬lakukan hukuman itu dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah.
    (2) Peraturan tata-usaha atau tata-tertib guna rumah buat menjalankar, hukuman tutupan diaiur oleh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan.

    Pasal 6
    Undang-undang ini mulai berlaku pada hari pengu¬mumannya.

    Ditetapkan di Jogyakarta pada tanggal 31 Oktober 1946
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    SOEKARNO

    MENTERI KEHAKIMAN,
    ttd.
    SOESANTO TIRTOPRODJO

    Diumumkan pada tanggat l Nopember 1946
    SEKRETARIS NEGARA,
    ttd.
    A.G. PRIINGGODIGDO

    MENTERIPERTAHANAN,
    ttd.
    AMIR SJARIFOEDIN

  3. UU Nomor 73 Tahun 1958 Tentang MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG UNDANG NO. 1 TAHUN 1946 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA UNTUK SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA DAN MENGUBAH KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA *)

    Presiden Republik Indonesia,

    Menimbang:

    a.bahwa perlu dinyatakan berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia untuk seluruh wilayah Republik Indonesia;
    b.bahwa berhubung dengan ditetapkan Peraturan-peraturan Pemerintah tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, tentang Penggunaan Bendera Asing di Indonesia dan tentang Penggunaan Lambang Negara (Lembaran Negara tahun 1958 No. 68, No. 69 dan No. 71), perlu diadakan perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

    Mengingat: pasal 89 dan pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;

    Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

    Memutuskan :

    Menetapkan: Undang-undang Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

    Pasal I.

    Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.

    Pasal II.

    Pasal XVI Undang-undang No. I tahun 1946 Republik Indonesia tentang peraturan hukum pidana dicabut.


    Pasal III.

    Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Staatsblad 1915 No. 732) seperti beberapa kali diubah, dan terakhir oleh Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia, diubah lagi sebagai berikut:

    1.Sesudah pasal 52 ditambahkan pasal 52a sebagai berikut:

    "Pasal 52a

    Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, maka hukuman untuk kejahatan tersebut dapat ditambah dengan sepertiga."

    2.Sesudah pasal 142 ditambahkan pasal 142a sebagai berikut:

    "Pasal 142a
    Barangsiapa menodai Bendera Kebangsaan Negara sahabat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda setinggi-tingginya tiga ribu rupiah."

    3.Sesudah pasal 154 ditambahkan pasal 154a sebagai berikut:

    "Pasal 154a

    Barangsiapa menodai Bendera Kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang Negara Republik Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda setinggi-tingginya tiga ribu rupiah."

    Pasal IV.

    Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

    Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

    Disahkan di Jakarta pada tanggal 20 September 1958.
    Presiden Republik Indonesia,
    ttd.

    SUKARNO.

    Diundangkan pada tanggal 29 September 1958.
    Menteri Kehakiman,
    ttd.

    G.A. MAENGKOM.

    MEMORI PENJELASAN MENGENAI USUL UNDANG-UNDANG TENTANG MENYATAKAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1946 REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA UnTUK SELURUH WILAYAH REPUBLIK INDONESIA DAN MENGUBAH KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.

    UMUM.

    Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana yakni:

    1.Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia;

    2."Wetboek van Strafrecht voor Indonesia" (Staatsblad 1915 No. 732) seperti beberapa kali diubah;
    yang sama sekali tidak beralasan.

    Dengan adanya Undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam pasal I ditentukan bahwa Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Kesempatan ini dipergunakan pula untuk mengadakan perubahan/ penambahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut berhubung dengan ditetapkan Peraturan-peraturan Pemerintah tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, tentang Penggunaan Bendera Asing di Indonesia dan tentang Penggunaan Lambang-Negara Republik Indonesia (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 68, No. 69 dan No. 71).

    Sebagaimana telah dimaklumi, maka sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Bendera Kebangsaan Asing, Lambang-Negara dan Penggunaan Bendera Kebangsaan Asing, telah ada Undang-undang No. 1 tahun 1946 dari Republik Indonesia bentuk lama (Undang-undang tentang Peraturan Hukum Pidana) yang dalam pasal XVI mengatur ancaman hukuman terhadap penghinaan Bendera Kebangsaan yang berbunyi sebagai berikut:

    "Barangsiapa terhadap Bendera Kebangsaan Indonesia dengan sengaja menjalankan sesuatu perbuatan yang dapat menimbulkan perasaan penghindaan kebangsaan, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya satu tahun enam bulan".

    Ketentuan ini menurut pasal terakhir Undang-undang tadi hanya berlaku bagi Jawa dan Madura, sedang dengan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1946 Undang-undang ini berlaku pula bagi seluruh Sumatera (Propinsi Sumatera). Dengan lain perkataan, ketentuan dalam pasal XVI tadi hingga sekarang hanya berlaku bagi Jawa (dan Madura) dan Sumatera. Sekarang setelah Peraturan-peraturan Pemerintah tersebut diundangkan, maka perlulah menetapkan aturan-aturan hukuman yang berhubungan dengan Bendera Kebangsaan untuk seluruh Indonesia.

    Lain dari pada itu perlu pula diadakan aturan hukuman yang berhubungan dengan Bendera Kebangsaan Asing dan Lambang-Negara. Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca dalam penjelasan pasal-pasal baru yang diusulkan, yaitu pasal-pasal 52a. 142a dan 154a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

    PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

    Pasal I.

    Cukup jelas.

    Pasal II.

    Pasal XVI Undang-undang No. 1 tahun 1946 perlu dicabut, karena halnya telah diatur lebih lengkap dalam pasal III sub 2 dan 3 Undang-undang ini, yaitu pasal 142a dan pasal 154a.

    Pasal III.

    Pasal 52a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
    1. Bendera Kebangsaan dapat dipergunakan untuk melancarkan atau mempermudah terlaksananya sesuatu kejahatan. Orang-orang yang menderita kejahatan itu dipengaruhi oleh bendera tersebut dan memperoleh kesan, bahwa yang melakukan kejahatan bertindak secara resmi.
    2. Dalam pasal ini tak ditentukan cara menggunakan Bendera Kebangsaan; hal ini diserahkan kepada praktek; hanya harus diingat, bahwa antara penggunaan bendera dan kejahatan harus tampak hubungan kausal.
    3. Tempat pasal tambahan ini dalam titel III, buku I Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan No. 52a dianggap selayaknya.

    Pasal 142a dan pasal 154a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
    1. Karena dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana belum ada ketentuan seperti tersebut dalam pasal-pasal ini, maka dengan adanya Peraturan-peraturan Pemerintah mengenai Bendera Kebangsaan, Lambang-Negara Indonesia dan Bendera Kebangsaan Asing, perlu mengadakan ketentuan termaksud. Betul dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara terdapat pasal 136 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: 2e. "hij die het wapen van Indonesie, de Indonesische vlag enz, beschimpt enz." akan tetapi berdasarkan pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara, pasal 136 tersebut hanya berlaku terhadap orang-orang militer dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer.

    2. Menodai ialah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghina.

    3. Susunan kata yang dipakai dalam pasal XVI Undang-undang No. 1 tahun 1946 tidak dipergunakan dalam pasal 142a dan pasal 154a Kitab Undang-undang Hukum Pidana, karena penghinaan terhadap perasaan kebangsaan dimaksud dalam pasal XVI itu sukar ditetapkan, sedang menurut redaksi pasal 142a dan pasal 154a, obyek yang dihina ialah suatu benda tertentu: yaitu Bendera Kebangsaan. Pun redaksi pasal-pasal tersebut sesuai dengan redaksi pasal 136 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara.

    4. Hukuman disesuaikan dengan hukuman dalam pasal 136 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara.

    Termasuk Lembaran-Negara No. 127 tahun 1958.

    Diketahui: Menteri Kehakiman,


    G.A. MAENGKOM.

    --------------------------------

    CATATAN

    *)Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-126 pada tanggal 3 September 1958, pada hari Rabu, P.346/1958
  4. UU NO. 1 TAHUN 1960 TENTANG PENGUBAHAN KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA *)

    Presiden Republik Indonesia,

    Menimbang :

    bahwa ancaman-ancaman hukum terhadap tindak pidana "menyebabkan orang
    mati karena kesalahan", "menyebabkan orang luka berat karena kesalahan"
    dan "menyebabkan karena kesalahannya, kebakaran, peletusan atau banjir"
    dalam pasal-pasal 359, 360 dan 188 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    terlalu ringan istimewa untuk keadaan lalu-lintas dan keadaan perumahan
    dan padatnya penduduk, dikota-kota pada waktu sekarang, sehingga perlu
    diperberat;

    Mengingat :

    1.pasal-pasal 359, 360 dan 188 "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    2.pasal 5 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia;

    Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan : Undang-undang tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum
    Pidana.

    Pasal 1.

    Ancaman hukuman dalam pasal-pasal 359, 360 dan 188 Kitab Undang-undang
    Hukum Pidana dinaikkan sehingga pasal-pasal tersebut seluruhnya berbunyi
    sebagai berikut:

    Pasal 359:Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang mati,
    dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman
    kurungan selama-lamanya satu tahun.

    Pasal 360: (1)Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga
    orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya tiga ratus rupiah.

    Pasal 188:Barang siapa menyebabkan karena kesalahannya kebakaran,
    peletusan atau banjir, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
    lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun atau hukuman
    denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah, jika terjadi bahaya umum
    untuk barang karena hal itu, jika terjadi bahaya kepada maut orang lain,
    atau jika hal itu berakibat matinya seseorang.

    Pasal 2.

    Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

    Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
    Undang-Undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

    Disahkan di Jakarta pada tanggal 5 Januari 1960.

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    SUKARNO.

    Diundangkan pada tanggal 5 Januari 1960. MENTERI MUDA KEHAKIMAN

    SAHARDJO

    MEMORI PENJELASAN MENGENAI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN
    KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.

    UMUM.

    Sudah lama dirasakan perlu adanya tindakan tegas terhadap keteledoran
    orang yang menyebabkan orang mati atau luka berat, teristimewa terhadap
    pengemudi-pengemudi kendaraan bermotor, yang karena kelalaian atau
    sifatnya kurang mengindahkan nilai jiwa sesama manusia; menyebabkan
    terjadi kecelakaan-kecelakaan lalu-lintas berupa tubrukan-tubrukan,
    terjerumusnya kendaraan dalam jurang atau kali, atau bergulingnya
    kendaraan karena terlampau banyaknya muatan berupa barang atau orang
    atau karena putus as atau kebakaran karena kurang perawatan atau
    penelitian sebelum mengemudi kendaraan itu, yang semuanya itu meminta
    korban manusia. Rupanya ancaman hukuman penjara setahun atau hukuman
    kurungan 9 bulan dalam pasal-pasal 359 dan 360 Kitab Undang- undang
    Hukum Pidana itu tidak cukup merupakan kekangan, sedangkan kalau hukuman
    dijatuhkan meskipun yang terberat, sering dirasakan tidak setimpal
    dengan perbuatan yang dilakukannya, sehingga ancaman itu harus
    diperberat. Selain itu dalam waktu belakangan ini sering terjadi kebakaran-kebakaran yang disebabkan oleh kelalaian-kelalaian, misalnya kurang hati-hati menyalakan lampu, memasang kompor, menaruh pelita dimana saja dan sebagai akibat kebakaran itu, ialah kerugian besar diderita oleh penduduk sekitarnya. Oleh karena itu perlu diperberat ancaman hukuman terhadap mereka yang karena kelalaian menyebabkan
    kebakaran.

    Bencana yang disebabkan karena letusan atau banjir karena kechilafan
    seseorang jarang sekali terjadi.

    Meskipun demikian ancaman hukuman terhadap orang-orang yang karena
    kekhilafannya menyebabkan bencana-bencana itu perlu juga diperberat
    karena apabila bencana itu terjadi akibatnya tidak kurang dari pada
    akibat kebakaran.

    Tingkatan-tingkatan mengenai ancaman hukuman yang diadakan dalam pasal
    188 tidak dipakai lagi karena seringkali tidak sesuai dengan keadaan
    yang sebenarnya.

    Umpamanya kebakaran hanya menyebabkan bahaya umum untuk barang, atau
    bahaya maut, tetapi kerugiannya yang diderita berjumlah jutaan rupiah,
    sehingga perlu memberikan kesempatan pada hakim untuk memberi hukuman
    yang sama beratnya, jikalau kebakaran menyebabkan ada orang yang mati.

    PASAL DEMI PASAL.

    Cukup jelas.

    --------------------------------

    CATATAN

    *)Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-30 pada hari Jum'at
    tanggal 4 Desember 1959, P.22/1959
  5. UU No 2/Pnps/1964 [Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969 tentang TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER

    Mengingat :
    1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan
    Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960;
    2. Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962;
    3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 Tahun 1963.

    BAB I
    UMUM

    Pasal 1

    Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan
    putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan
    peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuanketentuan
    dalam pasal-pasal berikut.

    BAB II
    TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
    DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

    Pasal 2

    (1) Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum
    pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1).
    (2) Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan
    secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak
    memungkinkan pelaksanaan demikian itu.

    Pasal 3

    (1) Kepala Polisi Daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam Pasal 2, setelah mendengar
    nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan
    tempat pelaksanaan pidana mati.
    (2) Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah
    lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi
    Komisariat Daerah lain itu.
    (3) Kepala Polisi Komisariat Daaerah tersebut dalam ayat (1) bertanggungjawab atas keamanan dan
    ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang
    diperlukan untuk itu.

    Pasal 4

    Kepala Polisi Komisariat Daerah tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) atau Perwira yang ditunjuk olehnya
    menghadiri pelaksanaan pidana mati tersebut bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang
    bertanggungjawab atas pelaksanaannya.

    Pasal 5
    Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus
    ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.

    Pasal 6
    (1) Tiga kali duapuluh empat jam sebelum saat elaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut
    memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut.
    (2) Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu diterima
    oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut.

    Pasal 7
    Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari
    nsetelah anaknya dilahirkan.

    Pasal 8

    Pembela terpidana, atas permintaannya sendiri atau atas permintaan terpidana, dapat menghadiri
    pelaksanaan pidana mati.

    Pasal 9

    Pidana mati dilaksanakan tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin, kecuali
    ditetapkan lain oleh Presiden.

    Pasal 10

    (1) Kepala Polisi Daerah membentuk suatu Regu Penembak dari Brigade Mobile yang terdiri dari
    seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.
    (2) Khusus untuk pelaksanaan tugasnya ini, Regu Penembak tidak mempergunakan senjata
    organiknya.
    (3) Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4
    sampai selesainya pelaksanaan pidana mati.

    Pasal 11

    (1) Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup.
    (2) Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani.
    (3) Terpidana berpakaian sederhana dan tertib.
    (4) Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan
    sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.

    Pasal 12
    (1) Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut.
    (2) Jika dipandang perlu, Jaka Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab dapat memerintahkan supaya
    terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu.

    Pasal 13
    (1) Setelah terpidana siap ditembak, Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat
    yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4.
    (2) Jarak antara titik di mana terpidana berada dan tempat Regu Penembak tidak boleh melebihi 10
    meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter.

    Pasal 14
    (1) Apabila semua persiapan telah selesai, Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk
    pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati.
    (2) Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana.
    (3) Dengan menggunakan pedang sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberi perintah
    supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya
    untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara
    cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
    (4) Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati,maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskantembakan pengakhir dengan menekankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat diatas telinganya.
    (5) Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter.

    Pasal 15
    (1) Penguburan diserahkan kepada keluarganya atau sahabat terpidana, kecuali jika berdasarkan
    kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain.
    (2) Dalam hal terahir ini, dan juga jika tidak ada kemungkinan pelaksanaan penguburan oleh
    keluarganya atau sahabat terpidana maka penguburan diselenggarakan oleh Negara dengan
    mengindahkan cara penguburan yang ditentukan oleh agama/kepercayaan yang dianut oleh
    terpidana.

    Pasal 16
    (1) Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan
    pidana mati.
    (2) Isi dari pada berita acara itu disalinkan ke dalam Surat Putusan Pengadilan yang telah mendapat
    kekuatan pasti dan ditandatangani olehnya, sedang pada berita acara harus diberi catatan yang
    ditandatangani dan yang menyatakan bahwa isi berita acara telah disalinkan ke dalam Surat
    Putusan Pengadilan bersangkutan.
    (3) Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya.

    BAB III
    TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
    DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

    Pasal 17
    Tata cara pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer
    dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa:
    a. kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan
    yang bersangkutan”;
    b. kata-kata “Kepala Polisi Komisariat Daerah” dalam Bab II harus dibaca “Panglima/Komandan
    Daerah Militer”;
    c. kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”;
    d. kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”;
    e. Pasal 3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang
    Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima
    atau Komandan Daeerah tempat kedudukan pengadilan militer yang menjatuhkan putusan dalam
    tingkat pertama merundingkannya dengan Panglima atau Komandan dari Angkatan yang
    bersangkutan”.
    f. Pasal 11 ayat (3) harus dibaca “Terpidana, jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian
    tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”.

    BAB IV
    KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

    Pasal 18
    Pidana mati yang dijatuhkan sebelum mulai berlakunya Undang-undang ini dan yang masih harus
    dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

    Pasal 19
    Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
    Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964.
  6. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 Pasal1: tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".
  7. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN

    DENGAN RAKHMAT TUHAN YANGMAHAESA

    Presiden Republik Indonesia,

    Menimbang:

    a. bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama,Kesusilaan dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dankehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara;

    b. bahwa oleh karena itu perlu diadakan usaha-usaha untukmenertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untukakhirnya menuju kepenghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Indonesia;

    c. bahwa ketentuan-ketentuan dalam. Ordonansi tanggal 7 Maret1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 23O) sebagaimana telah beberapa kali dirubahdan ditambah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 31 Oktober 1935 (StaatsbladTahun 1935 Nomor 526), telah tidaksesuai lagi dengan perkembangan keadaan;

    d. bahwa ancaman hukuman didalam pasal-pasal KitabUndang-undang Hukum Pidana mengenai perjudian dianggap tidak sesuai lagisehingga perlu diadakan perubahan dengan memperberatnya;

    e. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas perludisusun Undang-undang tentang Penertiban Perjudian.

    Mengingat :

    1. Undang-UndangDasar 1945 Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1);

    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor lV/MPR/1973tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

    Mengingat pula :

    1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 303 ayat (1), (2) dan(3) dan Pasal 542 ayat (1) dan (2);

    2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokokPemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037).



    Dengan persetujuan DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia.

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan:

    UNDANG-UNDANGTENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN.



    Pasal 1

    Menyatakansemua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.



    Pasal 2

    (1) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KitabUndang- undang Hukum Pidana, dari Hukuman penjaara selama-lamanya dua tahundelapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadihukuman penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya duapuluh lima juta rupiah.

    (2) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KitabUndang- undang Hukum Pidana, darihukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empatribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara selama-lamanya empat tahun ataudenda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.

    (3) Merubah ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dendasebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman penjaraselama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

    (4) Merubahsebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.



    Pasal 3

    (1) Pemerintah mengatur penertiban perjudian sesuai dengan jiwadan maksud Undang-undang ini.

    (2) Pelaksanaanayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Perundang- undangan.



    Pasal 4

    Terhitung mulai berlakunya peraturan Perundang-undangandalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-undang ini,mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230)sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansitanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526).

    Pasal 5

    Undang-undang ini berlaku berlaku pada tanggaldiundangkan.

    Agarsetiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang inidengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



    Ditetapkan di Jakarta,
    pada tanggal 6 Nopember 1974

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    SOEHARTO
    JENDERAL TNI.



    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 6 Nopember 1974

    MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
    REPUBLIK INDONESIA,

    SUDHARMONO, S H.



    LEMBARAN NEGARA TAHUN 1974NOMOR 54



    PENJELASAN
    ATAS
    UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 7 TAHUN 1974
    TENTANG
    PENERTIBANPERJUDIAN

    UMUM:

    Bahwa pada hakekatnya perjudianadalah bertentangan dengan Agama, Kesusilaan, dan Moral Pancasila, sertamembahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, Bangsa, dan Negara.

    Namunmelihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya masihbanyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansitanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230) dengan segala perubahandan tambahannya, tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan.

    Ditinjau dari kepentingan nasional,penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadapmoral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipunkenyataan juga menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah,baik Pusat maupun Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namunekses negatipnya lebih besar daripada ekses positipnya.

    Apabila Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 BAB II huruf C angka 5 menyimpulkan,bahwa usaha pembangunan dalam bidang materiil tidak boleh menelantarkan usahadalam bidang spiritual, malahan kedua bidang tersebut harus dibangun secarasimultan, maka adanya dua kepentingan yang berbeda tersebut perlu segeradiselesaikan.

    Pemerintah harus mengambil langkahdan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian, membatasinya sampailingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju ke penghapusannya samasekali dari seluruh wilayah Indonesia.

    Penjudian adalah salah satu penyakitmasyarakat yang manunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah darigenerasi ke generasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu padatingkat dewasa ini perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukanperjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, danterhindarnya ekses-ekses negatip yang lebih parah, untuk akhirnya dapat berhentimelakukan perjudian.

    Maka untuk maksud tersebut perlumengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagaikejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena ancaman hukuman yangsekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunyajera.

    Selanjutnyakepada Pemerintah ditugaskan untuk menertibkan perjudian sesuai dengan jiwa danmaksud Undang-undang ini, antara lain dengan mengeluarkan peraturanperundang-undangan yang diperlukan untuk itu.



    PASAL DEMI PASAL



    Pasal 1

    Cukup jelas

    Pasal 2

    Cukup jelas

    Pasal 3

    DenganPasal 3 ayat (1) ini Pemerintah dimaksudkan menggunakankebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menertibkan perjudian, hingga akhirnya menujukepenghapusan perjudian sama sekali dari Bumi Indonesia

    Pasal 4

    Agartidak terjadi kekosongan hukum selama belum ada peraturan perundang-undanganyang mengatur penertiban perjudian sebagai pelaksanaan Undang-undang ini, makapasal ini dimaksudkan sebagai aturan peralihan.

    Pasal 5

    Cukup jelas

    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3040
  8. UU NO. 4 TAHUN 1976

    Tentang:PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB

    UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA
    KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN
    KEJAHATAN TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

    Presiden Republik Indonesia,

    Menimbang :

    a.bahwa hingga kini ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana belum
    berlaku dalam pesawat udara Indonesia ;


    b.bahwa penguasaan pesawat udara secara melawan hukum serta semua
    perbuatan-perbuatan yang mengganggu keamanan penerbangan dan
    sarana/prasarana penerbangan sangat merugikan kehidupan penerbangan
    nasional pada khususnya, perekonomian negara serta pembangunan nasional
    pada umumnya, sehingga perlu diadakan peraturan-peraturan untuk mencegah
    perbuatan-perbuatan tersebut, guna menjamin keselamatan dan keamanan
    baik penumpang, awak pesawat udara, barang-barang yang berada dalam
    penerbangan, maupun perlindungan sarana/ prasarana penerbangan;


    c.bahwa dalam perundang-undangan Indonesia belum diatur mengenai
    ketentuan pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap
    sarana/prasarana penerbangan;


    d.bahwa karena itu perlu diadakan perubahan dan penambahan beberapa
    pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    Mengingat :

    1.Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

    2.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo
    Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan berlakunya
    undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan
    Hukum Pidana untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab
    Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127,
    Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660);

    3.Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan (Lembaran
    Negara Tahun 1958 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1687) ;

    4.Undang-undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo
    1963, Konvensi The Hague 1970 dan Konvensi Montreal 1971 (Lembaran
    Negara Tahun 1976 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3076);

    Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan :

    UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM
    KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PlDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA
    KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN
    KEJAHATAN TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN.

    Pasal I

    Mengubah dan menambah Pasal 3 dan Pasal 4 angka 4 yang tercantum dalam
    Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana sehingga berbunyi sebagai berikut:

    1.Pasal 3

    Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
    orang yang di luar Wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam
    kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

    2. Pasal 4 angka 4.

    Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai
    dengan Pasal 446 tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang
    penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf
    j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf
    1, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan
    sipil.

    Pasal II

    Menambah 3 (tiga) pasal baru dalam Bab IX Kitab Undang-Undang Hukum
    Pidana setelah Pasal 95 yang berbunyi sebagai berikut :

    1.Pasal 95 a.

    (1)Yang dimaksud dengan "pesawat udara Indonesia" adalah pesawat udara
    yang didaftarkan di Indonesia ;

    (2)Termasuk pula pesawat udara Indonesia adalah pesawat udara asing yang
    disewa tanpa awak pesawat dan dioperasikan oleh perusahaan penerbangan
    Indonesia.

    2.Pasal 95 b.;

    Yang dimaksud dengan "dalam penerbangan" adalah sejak saat semua pintu
    luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi)
    sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (disembarkasi). Dalam
    hal terjadi pendaratan darurat penerbangan dianggap terus berlangsung
    sampai saat penguasa yang berwenang mengambil alih tanggungjawab atas
    pesawat udara dan barang yang ada di dalamnya.

    3.Pasal 95 c.

    Yang dimaksud dengan "dalam dinas" adalah jangka waktu sejak pesawat
    udara disiapkan oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan
    tertentu, hingga setelah 24 jam lewat sesudah setiap pendaratan.

    Pasal III

    Menambah sebuah Bab baru setelah Bab XXIX Kitab Undang-Undang Hukum
    Pidana dengan Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan
    terhadap sarana/prasarana Penerbangan yang terdiri dari Pasal 479 huruf
    a sampai dengan Pasal 479 huruf r yang berbunyi sebagai berikut :

    1.Pasal 479 a.

    (1)Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, membuat
    tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas
    udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut,
    dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun;

    (2)Dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun jika karena
    perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas udara;

    (3)Dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun jika karena
    perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

    2.Pasal 479 b.

    (1)Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan hancurnya, tidak dapat
    dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara,
    atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut, dipidana dengan
    pidana penjara selama-lamanya tiga tahun ;

    (2)Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena
    perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan lalu lintas udara;

    (3)Dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena
    perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

    3.Pasal 479 c.

    (1)Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,
    mengambil atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan,
    atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang
    tanda atau alat yang keliru, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun;

    (2)Dengan pidana penjara selamanya sembilan tahun, jika karena perbuatan
    itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan ;

    (3)Dengan pidana penjara selama-selamanya dua belas tahun, jika karena
    perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan dan mengakibatkan
    celakanya pesawat udara ;

    (4)Dengan pidana penjara selama-selamanya lima belas tahun, jika karena
    perbuatan itu timbul bahaya bagi keamanan penerbangan dan mengakibatkan
    matinya orang.

    4.Pasal 479 d.

    Barang siapa karena kealpaan menyebabkan tanda atau alat untuk
    pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau
    menyebabkan tidak dapat bekerja atau menyebabkan terpasangnya tanda atau
    alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru, dipidana : a.dengan
    pidana penjara selama-selamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu
    menyebabkan penerbangan tidak aman; b.dengan pidana penjara
    selama-selamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan
    celakanya pesawat udara ; c.dengan pidana penjara selama-selamanya tujuh
    tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

    5.Pasal 479 e.

    Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum, menghancurkan atau
    membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau
    sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
    selama-selamanya sembilan tahun.

    6.Pasal 479 f.

    Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,
    menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara,
    dipidana :

    a.dengan pidana penjara selama-selamanya lima belas tahun, jika karena
    perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain; b.dengan pidana
    penjara seumur hidup atau pidana penjara untuk selama-selamanya dua
    puluh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

    7.Pasal 479 g.

    Barang siapa karena kealpaanya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,
    tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana : a.dengan pidana penjara
    selama-selamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya
    bagi nyawa orang lain; b.dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh
    tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

    8.Pasal 479 h.

    (1)Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
    orang lain dengan melawan hukum, atas kerugian penanggung asuransi
    menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan, kehancuran, kerusakan
    atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara, yang dipertanggungkan
    terhadap bahaya terwujut diatas atau yang dipertanggungkan muatannya
    maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun
    untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan,
    dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya sembilan tahun ;

    (2)Apabila yang dimaksud pada ayat (1) Pasal ini adalah pesawat udara
    dalam penerbangan, dipidana dengan pidana pelihara selama-selamanya lima
    belas tahun;

    (3)Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
    orang lain dengan melawan hukum atas kerugian penanggung asuransi,
    menyebabkan penumpang Pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap
    bahaya, mendapat kecelakaan, dipidana : a.dengan pidana penjara
    selama-lamanya sepuluh tahun, jika karena perbuatan itu menyebabkan luka
    berat ; b.dengan pidana penjara selama-selamanya lima belas tahun, jika
    karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

    9.Pasal 479 i.

    Barang siapa dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum
    merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara
    dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua
    belas tahun.

    10. Pasal 479 j.

    Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
    atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan
    perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan,
    dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

    11. Pasal 479 k..

    (1)Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
    selama-lamanya dua puluh tahun, apabila perbuatan dimaksud Pasal 479
    huruf i dan Pasal 479 j itu :

    a.dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama b.sebagai kelanjutan
    permufakatan jahat ; c.dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu
    d.mengakibatkan luka berat seseorang ; e.mengakibatkan kerusakan pada
    pesawat udara tersebut, sehingga dapat membahayakan penerbangannya ;
    f.dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau
    meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.

    (2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya
    pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
    seumur hidup atau pidana penjara selama-selamanya dua puluh tahun.

    12. Pasal 479 l.

    Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan
    kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan,
    jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara
    tersebut, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

    13. Pasal 479 m.

    Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara
    dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang
    menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan,
    dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

    14. Pasal 479 n.

    Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau
    menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan
    cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara atau
    menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang Membuatnya tidak dapat
    terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat
    membahayakan keamanan dalam penerbangan, pidana dengan pidana penjara
    selama-lamanya lima belas tahun.

    15. Pasal 479 o.

    (1)Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
    selama-lamanya dua puluh tahun apabila perbuatan dimaksud Pasal 479
    huruf 1, Pasal 479 huruf m, dan Pasal 479 huruf n itu:

    a.dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama b.sebagai kelanjutan
    dari permufakatan jahat c.dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu
    d.Mengakibatkan luka berat bagi seseorang.

    (2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya
    pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
    seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

    16. Pasal 479 p.

    Barang siapa memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan
    karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam
    penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas
    tahun.

    17. Pasal 479 q.

    Barang siapa di dalam pesawat udara, melakukan perbuatan yang
    dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan,
    dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

    18. Pasal 479 r.

    Barang siapa di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang
    dapat mengganggu ketertiban dan tatatertib di dalam pesawat udara dalam
    penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun.

    Pasal IV

    Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

    Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
    Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
    Indonesia.

    Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    SOEHARTO JENDERAL TNI.

    Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1976 MENTERI/SEKRETARIS
    NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

    SUDHARMONO,SH.

    PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1976
    TENTANG PERUSAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA PASAL DALAM KITAB
    UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN BERLAKUNYA
    KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN
    KEJAHATAN TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN

    PENJELASAN UMUM

    Dalam rangka melaksanakan Pembangunan Nasional, peningkatan kegiatan
    ekonomi masyarakat Indonesia merupakan salah satu tujuan dimana
    perhubungan udara mempunyai peranan yang penting untuk mencapai tujuan
    tersebut. Selain dari itu angkutan melalui udara mempunyai arti penting
    pula dalam menjamin kesatuan ekonomi, politik dan budaya Indonesia,
    sehingga dengan demikian perlu dijamin suatu angkutan udara yang dapat
    diandalkan, aman dan cepat. Pada waktu akhir-akhir ini ada kecenderungan
    bertambah meningkatnya kejahatan penerbangan, sehingga dapat mengurangi
    kepercayaan masyarakat kepada perhubungan udara dan dapat pula
    mengancam perkembangan angkutan udara yang aman dan bebas dari
    ketakutan. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dipandang perlu
    untuk menyusun Undang-Undang tentang perubahan dan penambahan beberapa
    pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka memberantas
    kejahatan penerbangan, mengingat bahwa dalam perundang-undangan yang
    berlaku sekarang belum ada ketentuan tentang kejahatan penerbangan.
    Dengan demikian maka dapat diperoleh suatu dasar dan kepastian hukum
    untuk menjatuhkan pidana atas perbuatan tersebut. Kemudian mengingat
    sifat rawannya angkutan udara, dimana jaminan keselamatan dan keamanan
    merupakan unsur yang amat vital sehingga pengamanan merupakan tujuan
    yang amat penting. Dengan demikian setiap gangguan terhadap keselamatan
    pesawat udara dalam penerbangan dan ketenangan dalam pesawat dapat
    mengakibatkan bahaya yang lebih besar dan langsung daripada
    perbuatan-perbuatan gangguan terhadap kendaraan angkutan darat dan kapal
    atau kendaraan air. Berhubung dengan itu diperlukan suatu usaha untuk
    memberantas ataupun mencegah seseorang melakukan kejahatan tersebut.
    Maka terhadap kejahatan penerbangan ini perlu diberikan ancaman pidana
    yang berat.

    Undang-undang ini disusun dengan merubah dan menambah
    ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu dengan
    memperluas ruang lingkup berlakunya Pasal 3 dan 4 dari Buku I serta
    menambah Buku I Bab IX dengan Pasal 95a, 95b, dan Pasal 95c, juga
    ditambahkan dalam Buku II Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan
    Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

    Kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan sebagaimana diatur dalam
    Pasal 479 a sampai dengan Pasal 479 d Undang-undang ini lain sifatnya
    dengan pelanggaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) e
    Undang-undang Nomor 83 Tahun 1958.

    Dengan demikian maka dalam Undang-undang ini pasal-pasal yang sudah ada
    dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diperluas ruang lingkupnya
    sehingga pengertian jurisdiksi kriminil Republik Indonesia mencakup
    pesawat udara Indonesia.

    Disamping itu ditambahkan ketentuan-ketentuan baru sebagai akibat
    daripada perkembangan dalam dunia penerbangan. Perubahan-perubahan dan
    tambahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di atas merupakan
    pelaksanaan kewajiban Republik Indonesia sebagai peserta dalam tiga
    konvensi tersebut dalam Konsiderans Undang-undang ini, disamping
    didorong oleh keinginan untuk merubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
    agar lebih sesuai dengan keadaan masa kini.

    PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

    Pasal I

    1. Pasal 3 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memperluas berlakunya Pasal 3
    Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu termasuk juga tindak pidana yang
    dilakukan oleh siapapun di dalam pesawat udara Indonesia, tetapi pesawat
    tersebut berada diluar wilayah Indonesia.

    2. Pasal 4 angka 4 Ketentuan ini dimaksudkan agar supaya peraturan
    pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku juga bagi setiap orang
    yang berada diluar wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana
    kejahatan penerbangan atau kejahatan yang mengancam keselamatan
    penerbangan.

    Pasal II Maksud dan tujuan dari ketentuan ini adalah memberikan
    perumusan pengertian pesawat udara Indonesia " dalam penerbangan" dan
    "dalam dinas". Pesawat udara yang dimaksud dalam Undang-Undang ini
    adalah pesawat udara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
    Penerbangan yang berlaku dan pada saat ini dalam Undang-Undang Nomor 83
    Tahun 1958 tentang Penerbangan.

    Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian pesawat udara Indonesia dalam
    pasal 95 a adalah pesawat udara yang didaftar di Indonesia termasuk pula
    dalam pengertian ini pesawat udara asing yang disewa tanpa awak dan
    dioperasikan oleh perusahaan penerbangan Indonesia. Yang dimaksud dengan
    penguasa yang berwenang dalam Pasal 95 b adalah pejabat Pemerintah
    setempat yang mempunyai kewenangan untuk mengambil alih penguasaan atas
    pesawat beserta isinya dari captain pesawat hingga pejabat yang
    berwenang dari Pemerintah dibidang perhubungan udara tiba, untuk
    mengambil alih penguasaan atas pesawat beserta isinya.

    Pasal III Ketentuan ini dimaksudkan untuk menambah Bab baru dalam Kitab
    Undang-Undang Hukum Pidana setelah Bab XXIX tentang Kejahatan Pelayaran,
    yaitu Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan dan kejahatan terhadap
    Sarana/Prasarana Penerbangan yang terdiri dari Pasal 479 huruf a sampai
    dengan Pasal 479 huruf r.

    1 . Pasal 479 a. Yang dimaksudkan dengan bangunan adalah fasilitas
    penerbangan yang digunakan untuk keamanan dan pengaturan lalu lintas
    udara seperti terminal, bangunan, menara, rambu udara, penerangan,
    landasan serta fasilitas-fasilitas lainnya, termasuk bangunannya maupun
    instalasinya.

    2. Pasal 479 b. Cukup jelas

    3. Pasal 479 c. Yang dimaksud dengan tanda atau alat adalah fasilitas
    penerbangan yang digunakan oleh atau bagi pesawat udara untuk secara
    aman dapat mendarat atau tinggal landas (take off) seperti tanda atau
    alat landasan (runway-marking) termasuk garis di tengah landasan
    (runway- counterline-marking), tanda penunjuk/kordinat landasan
    (runway-designation-marking), tanda ujung landasan
    (runway-threshold-marking) dan tanda adanya rintangan landasan
    (obstacle-marking) termasuk lampu tanda pemancar radio, lampu tanda
    menara lalu lintas udara dan lampu tanda gedung setasiun udara dan lain
    sebagainya.

    Pengertian "memasang tanda atau alat yang keliru" dapat juga berupa
    perbuatan pemasangan yang keliru daripada alat atau tanda yang dilakukan
    dengan sengaja dan melawan hukum.

    4. Pasal 479 d. Cukup jelas.

    5. Pasal 479 c. Pesawat udara dalam pasal ini ialah pesawat udara yang
    berada di darat yaitu tidak dalam penerbangan atau masih dalam persiapan
    oleh awak darat atau oleh awak pesawat untuk penerbangan tertentu.

    6. Pasal 479 f. Cukup jelas.

    7. Pasal 479 g. Cukup jelas.

    8. Pasal 479 h. Cukup jelas.

    9. Pasal 479 i. Cukup jelas.

    10. Pasal 479 j. Ketentuan pasal ini mengatur tindak pidana kejahatan
    penerbangan yang lazim dikenal dengan nama "pembajakan pesawat udara".

    11. Pasal 479 k. Syarat-syarat yang tercantum dalam ayat (1) sub a
    sampai dengan f merupakan syarat-syarat alternatip bagi pemberatan
    pidana dari pidana yang. dimaksud dalam Pasal 479 huruf i dan Pasal 479
    huruf j.

    12. Pasal 479 l. Cukup jelas.

    13. Pasal 479 m. Cukup jelas.

    14. Pasal 479 n. Cukup jelas.

    15. Pasal 479 o. Pasal ini adalah pemberatan dari tindak pidana Pasal
    479 huruf 1, m, dan n. Syarat-syarat yang tercantum dalam ayat (1) sub
    a, b, c dan d merupakan syarat-syarat alternatip bagi pemberatan pidana
    dari pidana yang dimaksud dalam huruf l, m, dan n.

    16. Pasal 479 p. Yang diatur oleh pasal ini adalah tindakan yang sering
    terjadi seperti pemberitahuan adanya ancaman bom lewat telepon atau alat
    komunikasi lainnya.

    17. Pasal 479 q. Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan pesawat
    udara dalam penerbangan adalah perbuatan yang nyata-nyata membahayakan
    keamanan penerbangan seperti membuka pintu darurat atau pintu utama,
    merusak alat-alat pelampung atau alat-alat penyelamat lainnya.

    18. Pasal 479 r. Yang dimaksud dalam pasal ini dengan perbuatan
    yang nyata-nyata bertentangan dengan ketertiban, dan tatatertib
    (disiplin) dalam pesawat udara adalah dengan sengaja mabuk-mabukan,
    membuat onar, kegaduhan dan lain sebagainya.

    Pasal IV Cukup jelas.
  9. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR II/PNPS/TAHUN 1963 TENTANG PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
     
Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati melekat pada diri manusia, meliputi antara lain hak memperoleh kepastian hukum dan persamaan kedudukan di dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dalam penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di dalam masyarakat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a dan b perlu membentuk Undang-undang tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PnPs/tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.

 Mengingat:   1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketaapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia.

 Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Memutuskan:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11/PNPS/TAHUN 1963 TENTANG PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI.

 Pasal l
Mencabut Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2900).
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada
tanggal 19 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada
tanggal 19 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

PROF DR H MULADI, S.H.



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 73
 
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1999
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11/PNPS/TAHUN 1963
TENTANG PEMBERANTASAN KEGIATAN SUBVERSI

I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak-hakasasi manusia, serta menjamin semua,,varga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kccualinya.
Penanggulangan krisis di bidang hukum sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara, bertujuan untuk tegak danTerlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketentraman masyarakat.
Sesuai dengan Kctetapan Majciis Pcrmusyawaratan Rakyat Republik IndonesiaNomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara yang berdasarkan atashukum, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalamperaturan perundang-undangan.
Pembangunan hukum dan era reformasi mencakup penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan aspirasimasyarakat yang menghendaki reformasi di segala bidang Salah satu produk peraturan perundang-undangan yang perlu ditinjau kembali adalah Undang-undangNomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pcmberantasan Kegiatan Subversi.
Selama berlakunya Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, dalam kenyataannya telah menimbulkan Ketidak pastian hukum, keresahan, ketidakadilan, dan pelanggaran hak asasi Manusia yang kesemuanya tidak sesuai dengan prinsip negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum. Dengan demikian Undang-undang Nomor 11/PnPs/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi perlu dicabut.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal l
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3849

  1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1976 TENTANG NARKOTIKA
Menimbang:
a.              bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan;
b.             bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama;
c.              bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi peri kehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun;
d.             bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta rehabilitasi terhadap pecandu narkotika perlu ditetapkan Undang-undang tentang narkotika yang baru, sebagai pengganti Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 Nomor 278 Jo. Nomor 536) yang telah tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.

Mengingat:
1.              Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.              Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);
3.              Undang-undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1942);
4.              Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan lembaran Negara Nomor 2289);
5.              Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 254, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2298);
6.              Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);
7.              Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805);
8.              Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
9.              Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3039);
10.          Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085).

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 Nomor 278 jo Nomor 536) sebagaimana telah diubah dan ditambah.

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
1.              Narkotika adalah:
a.              bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 13;
b.             garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;
c.              bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti Morfina atau Kokaina;
d.             campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan yang tersebut dalam huruf a, b, dan c.
2.              Tanaman Papaver adalah tanaman Papaver somniferum L, termasuk biji, buah dan jeraminya.
3.              Opium Mentah adalah getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkusan dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinanya.
4.              Opium Masak adalah:
a.              Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian, dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud merubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan;
b.             Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain;
c.              Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
5.              Opium Obat adalah opium mentah yang telah mengalami pengolahan sehingga sesuai untuk pengobatan, baik dalam bentuk bubuk atau dalam bentuk lain, atau dicampur dengan zat-zat netral sesuai dengan syarat farmakope.
6.              Morfina adalah alkaloida utama dari opium, dengan rumus kimia C17H19NO3.
7.              Tanaman Koka adalah tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae.
8.              Daun Koka adalah daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae, yang menghasilkan kokaina secara langsung atau melalui perubahan kimia.
9.              Kokaina Mentah adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun Koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan Kokaina.
10.          Kokaina adalah Metil ester 1-bensoil ekgonina dengan rumus kimia C17H21NO4,
11.          Ekgonina adalah 1-ekgonina dengan rumus kimia C9H15NO3H20 dan ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi Ekgonina dan Kokaina.
12.          Tanaman Ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji dan buahnya.
13.          Damar Ganja adalah damar yang diambil dari tanaman Ganja, termasuk hasil pengolahannya, yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.
14.          Wilayah Indonesia adalah seluruh wilayah daratan dan perairan Indonesia beserta udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia, instalasi di landas kontinen, demikian juga kapal atau pesawat udara berbendera Indonesia yang berada di Wilayah lain dan tempat-tempat yang menurut ketentuan yang berlaku termasuk wilayah Indonesia.
15.          Impor, adalah memasukkan narkotika ke dalam wilayah Indonesia, termasuk memuat atau menyimpannya di dalam pesawat udara atau kapal berbendera Indonesia di luar negeri yang akan atau sedang menuju Indonesia.
16.          Ekspor adalah mengeluarkan obat-obatan yang mengandung narkotika dari wilayah Indonesia, termasuk memuat atau menyimpannya di dalam pesawat udara atau kapal berbendera Indonesia yang akan atau sedang meninggalkan Indonesia.
17.          Sertifikat Impor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan mengenai, nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat narkotika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut hanya untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
18.          Sertifikat Ekspor adalah keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh atau atas nama pemerintah negara pengekspor mengenai nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat narkotika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan lain-lainnya.
19.          Izin Impor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
20.          Izin Ekspor adalah izin khusus yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan setelah memperoleh Keputusan Menteri Kesehatan untuk mengekspor obat-obatan yang mengandung narkotika.
21.          Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan nasional yang berbadan hukum yang memiliki izin usaha perdagangan besar dari Menteri Perdagangan dan memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan.
22.          Pabrik Farmasi adalah perusahaan nasional berbadan hukum yang memproduksi, mengolah dan atau merakit narkotika serta memiliki izin khusus dari Menteri Kesehatan.
23.          Transito adalah pengangkutan narkotika melalui dan singgah di Indonesia, dengan atau tanpa pindahnya sarana pengangkutan, antara 2 (dua) negara lain.
24.          Alat Angkutan adalah setiap alat yang dapat mengangkut narkotika baik di darat, di air atau di udara.
25.          Nakhoda adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya dari suatu kapal atau kendaraan air lainnya.
26.          Kapten Penerbang adalah setiap pemimpin atau yang menggantikannya dari suatu pesawat udara.
27.          Pengemudi adalah orang yang mengemudikan alat pengangkutan di darat.
28.          Dokter adalah dokter umum, dokter ahli, dokter gigi dan dokter hewan yang berdasarkan peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktek pengobatan sesuai dengan bidang kedokterannya.
29.          Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis akibat penggunaan atau penyalahgunaan narkotika.
30.          Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu narkotika hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilannya, pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.

Pasal 2
Menteri Kesehatan berwenang menetapkan:
i.               alat-alat penyalahgunaan narkotika;
ii.             bahan-bahan yang dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan narkotika;
sebagai barang di bawah pengawasan.

BAB II
NARKOTIKA UNTUK KEPENTINGAN PENGOBATAN DAN ATAU TUJUAN ILMU PENGETAHUAN

Pasal 3
(1)           Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.
(2)           Menteri Kesehatan berwenang menetapkan narkotika tertentu yang sangat berbahaya dilarang digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.

Pasal 4
(1)           Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk membeli, menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan, ataupun menguasai tanaman Papaver, Koka dan Ganja.
(2)           Lembaga yang menanam Papaver, Koka dan Ganja wajib membuat laporan tentang luas tanaman, hasil tanaman dan sebagainya yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 5
(1)         
a.       
Menteri Kesehatan memberikan izin kepada apotik untuk membeli, meracik, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirimkan dan membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan;

b.       
Menteri Kesehatan memberikan izin kepada dokter untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menyalurkan, menyerahkan, mengirim, membawa atau mengangkut dan menggunakan narkotika untuk kepentingan pengobatan.
(2)         
a.       
Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pabrik farmasi tertentu untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, memproduksi, mengolah, merakit, menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirim dan membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan;

b.       
Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada pedagang besar farmasi tertentu untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirim dan membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan dan membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan.

c.        
Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada rumah sakit untuk membeli, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menyerahkan, mengirim, membawa atau Mengangkut dan menggunakan narkotika untuk kepentingan pengobatan;

d.       
Menteri Kesehatan memberikan izin khusus kepada lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan untuk membeli dari pedagang besar farmasi, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai dan menggunakan narkotika untuk tujuan ilmu pengetahuan;

e.       
Izin khusus selain yang tersebut dalam pasal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pasal 6
(1)           Apotik, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi dapat membeli narkotika dari importir pedagang besar farmasi tersebut dalam Pasal 9.
(2)           Ketentuan-ketentuan tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh apotik, pabrik farmasi, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 7
(1)           Yang dapat menyalurkan narkotika kepada pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) hanyalah apotik.
(2)           Apotik dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter.

Pasal 8
(1)           Narkotika dapat dipergunakan untuk pengobatan penyakit hanya berdasarkan resep dokter.
(2)           Ketentuan-ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penderita penyakit yang memerlukan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 9
Untuk kepentingan pengobatan dan atau tujuan ilmu pengetahuan, narkotika hanya dapat diimpor ke Indonesia oleh satu importir pedagang besar farmasi setelah memperoleh keputusan Menteri Kesehatan dan mendapat izin impor dari Menteri Perdagangan.

Pasal 10
(1)           Mengimpor narkotika yang dimaksud dalam Pasal 9 atau mentransito narkotika harus disertai sertifikat impor yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
(2)           Sertifikat impor dapat diberikan, setelah diterima permohonan tertulis yang dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
(3)           Kepada instansi Bea dan Cukai yang bersangkutan dan kepada Pemerintah negara yang mengekspor diserahkan masing-masing satu eksemplar tembusan sertifikat impor.

Pasal 11
Impor atau transito yang dimaksud dalam Pasal 10 harus disertai sertifikat ekspor atau salinannya yang sah yang dikeluarkan oleh atau atas nama Pemerintah negara yang mengekspor.

Pasal 12
(1)           Setelah narkotika tiba dan diterima, importir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada Menteri Kesehatan.
(2)           Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuknya memberikan catatan sebagai tanda pengesahan di bagian belakang dari sertifikat ekspor atau salinannya yang sah tentang nama, jenis atau sifat dan jumlah atau berat narkotika yang benar-benar diimpor menurut kenyataan.

Pasal 13
(1)           Setelah terlaksananya impor, maka sertifikat ekspor yang telah diberi catatan seperti dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), oleh Menteri Kesehatan dikirim kepada Pemerintah negara yang mengekspor.
(2)           Menteri Kesehatan memberitahukan kepada Pemerintah negara yang mengekspor, apabila sertifikat impor telah daluwarsa dengan dilampiri dokumen-dokumen yang bersangkutan.

Pasal 14
Ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15
Impor Narkotika dan ekspor obat-obatan yang mengandung narkotika dilakukan melalui pelabuhan internasional atau melalui perlabuhan internasional atau melalui pelabuhan lain dengan izin khusus dari Menteri Kesehatan.

Pasal 16
Narkotika yang ada pada apotik, pedagang besar farmasi, pabrik farmasi, rumah sakit, persediaan para dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, harus disimpan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 17
Menteri Kesehatan berkewajiban tiap tahun takwim menyusun rencana kebutuhan narkotika untuk tujuan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan.

Pasal 18
(1)           Importir yang dimaksud dalam Pasal 9 berkewajiban untuk menyusun dan mengirimkan laporan bulanan kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya, dengan tembusan kepada Menteri Perdagangan.
(2)           Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang dimaksud dalam Pasal 5, berkewajiban untuk menyusun dan mengirimkan laporan bulanan kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya.
(3)           Jika dianggap perlu, dokter dapat diwajibkan untuk menyusun dan mengirimkan laporan kepada Menteri Kesehatan mengenai pemasukan dan penggunaan narkotika yang ada dalam penguasaannya.

Pasal 19
Bentuk dan isi laporan dimaksud dalam Pasal 18 dibuat sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

BAB III
PENGANGKUTAN NARKOTIKA

Pasal 20
(1)           Pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi tentang jenis dan jumlah narkotika yang akan diangkut untuk diimpor atau diekspor maupun ditransito.
(2)           Sebelum mengangkut narkotika para nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi wajib meminta dari pemilik atau pemuat narkotika sertifikat impor atau sertifikat ekspor.

Pasal 21
(1)           Pengangkutan narkotika di dalam negeri melalui udara, air, atau darat, selain harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan umum yang berlaku bagi pengangkutan melalui udara, air atau darat.
(2)           Muatan narkotika harus disimpan pada kesempatan pertama di dalam peti besi (kluis) atau tempat lain di dalam kapal dengan disegel bersama-sama oleh nakhoda dan pemilik atau pemuatnya.
(3)           Nakhoda membuat suatu berita acara tentang adanya muatan narkotika yang diangkutnya.
(4)           Jika sebuah kapal mempunyai narkotika sebagai muatan dan atau sebagai persediaan dalam apotik kapal, nakhoda berkewajiban untuk segera setelah tiba di suatu pelabuhan melaporkan hal ini kepada dinas kesehatan setempat.
(5)           Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pejabat Bea dan Cukai.
(6)           Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan dan pada kesempatan pertama kapal singgah di pelabuhan segera melaporkan dan menyerahkan persoalan tersebut kepada yang berwajib.
(7)           Ketentuan lain yang berhubungan dengan pengangkutan narkotika diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 22
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 21 ayat (2) sampai dengan ayat (7) berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan di udara dan bagi pengemudi untuk pengangkutan di darat.

BAB IV
PERBUATAN-PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 23
(1)           Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja.
(2)           Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
(3)           Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.
(4)           Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.
(5)           Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.
(6)           Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.
(7)           Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.

Pasal 24
Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan dilarang.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN DI DEPAN PENGADILAN

Pasal 25
(1)           Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke Pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
(2)           Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan terhadap tindak pidana yang menyangkut narkotika dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 26
Penyidik berhak untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya, yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara-perkara yang menyangkut narkotika yang sedang dalam penyidikan.

Pasal 27
Narkotika yang didapati dalam penyidikan atau contohnya diperiksa di laboratorium pemeriksaan yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 28
Di depan Pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

Pasal 29
(1)           Narkotika dan alat yang digunakan di dalam kejahatan yang menyangkut narkotika serta hasilnya dapat dinyatakan dirampas untuk negara.
(2)           Perampasan narkotika dan alat yang digunakan serta hasilnya yang bukan kepunyaan si terdakwa tidak dilakukan apabila hak-hak pihak ketiga yang beriktikad baik akan terganggu.
(3)           Jika dalam keputusan perampasan narkotika dan alat yang digunakan dalam kejahatan termasuk milik pihak ketiga yang beriktikad baik, pemilik dapat mengajukan kepada Pengadilan yang bersangkutan keberatan terhadap perampasan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah pengumuman keputusan Hakim.
(4)           Narkotika yang dinyatakan dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi milik negara, dan metal cara yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung digunakan untuk keperluan negara atau segera dimusnahkan.

Pasal 30
Selain kepada penyidik umum yang mempunyai wewenang dalam penyidikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, kepada pejabat kesehatan tertentu dapat diberi wewenang penyidikan terbatas.

BAB VI
GANJARAN (PREMI)

Pasal 31
Kepada mereka yang telah berjasa dalam mengungkapkan kejahatan yang menyangkut narkotika, diberi ganjaran yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN USAHA PENANGGULANGANNYA

Pasal 32
(1)           Orang tua atau Wali dari seorang pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan pecandu tersebut kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dan wajib membawanya ke rumah sakit atau kepada dokter yang terdekat untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan yang diperlukan.
(2)           Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(3)           Syarat-syarat untuk melaksanakan ketentuan tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 33
Hakim dalam memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (7) dapat memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan dan perawatan atas biaya sendiri.

Pasal 34
(1)           Pengobatan dan perawatan pecandu narkotika serta rehabilitasi bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi.
(2)           Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang lembaga rehabilitasi yang tersebut dalam ayat (1), termasuk pendirian cabang-cabangnya di tempat-tempat yang diperlukan, ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(3)           Dalam menyelenggarakan rehabilitasi diikutsertakan sebanyak mungkin lembaga-lembaga dalam masyarakat yang berhubungan dengan masalah itu, baik milik Pemerintah maupun swasta.

Pasal 35
Guna menanggulangi penyalahgunaan narkotika Pemerintah dapat mengadakan kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara lain atau badan internasional yang menangani masalah ini.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 36
(1)           Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (1):
a.              dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;
b.             dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.
(2)           Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (2):
a.              dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b.             dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(3)           Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (3):
a.              dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b.             dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(4)           Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (4):
a.              dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b.             dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(5)           Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (5):
a.              dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;
b.             dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(6)           Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (6):
a.              dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b.             dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(7)           Barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (7):
a.              dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;
b.             dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.
(8)           Barangsiapa karena kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) di atas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 37
Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dipidana dengan pidana penjara yang sama dengan pidana penjara bagi tindak pidananya.

Pasal 38
Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) diancam dengan pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) ditambah dengan sepertiganya, dengan ketentuan selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 39
(1)           Pidana penjara yang ditentukan dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) dapat ditambah dengan sepertiga, jika terpidana ketika melakukan kejahatan, belum lewat 2 (dua) tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan padanya.
(2)           Dalam hal pengulangan kejahatan yang dimaksud dalam ayat (1) diancam dengan pidana denda, maka pidana denda tersebut dikalikan dua.

Pasal 40
Dokter yang dengan sengaja melanggar Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).

Pasal 41
Importir yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 42
(1)           Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2), ayat (3) dan Pasal 19, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2)           Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), dipidana dengan pidana kuningan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah).

Pasal 43
Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), Pasal 21 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan Pasal 22, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 44
Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal-pasal 40, 41, 42 dan 43 dapat dikenakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak seperti diatur dalam Pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ayat (1) ke 1 dan ke 6.

Pasal 45
Barangsiapa dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000.- (sepuluh juta rupiah).

Pasal 46
Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

Pasal 47
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan di depan Pengadilan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun.

Pasal 48
Barang siapa yang mengetahui tentang adanya narkotika yang tidak sah dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000, (satu juta rupiah).

Pasal 49
Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.

Pasal 50
Semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut dalam Bab VIII Undang-undang ini adalah kejahatan, kecuali yang tersebut dalam Pasal 47 adalah pelanggaran.

Pasal 51
(1)           Terhadap warganegara asing yang melakukan tindak pidana yang menyangkut narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Indonesia.
(2)           Warganegara asing yang pernah melakukan tindak pidana yang menyangkut narkotika, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Indonesia.

Pasal 52
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat dicantumkan ancaman pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 53
Untuk tindak pidana yang tidak diatur di dalam Undang-undang ini diperlakukan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 54
Selama peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang narkotika yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 55
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Juli 1976
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 26 Juli 1976
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1976 NOMOR 37

No comments:

Post a Comment