Tuesday, April 26, 2011

KRONOLOGIS KASUS PETANI JERUK SIOMPU PROYEK BANTUN OECF – JBIC JEPANG KECAMATAN SAMPOLAWA DAN BATAUGA KABUPATEN BUTON PROPINSI SULAWESI TENGGARA


I.          KONDISI UMUM LOKASI PROYEK
Kecamatan sampolawa dan batauga adalah dua kecamatan yang berada di wilayah selatan kabupaten buton, sulawesi tenggara. Berjarak sekitar 30 km dari kota Bau-Bau. Kondisi umum masyarakat di wilayah ini rata-rata berada di bawah garis kemiskinan. Struktur tanah yang kering dan berbatu serta berbukit-bukit, sarana dan prasaran transportasi jalan yang sulit dan relatif cukup jauh dari kota Bau-Bau menjadikan daerah ini terisolir darimakna pembangunan. Rata-rata petani hidup sebagai petani ladang dengan komoditi andalan adalah tanaman jeruk dengan sebutan ‘jeruk siompu’ serta sisanya tanaman jenis palawija, jagung dan kacang-kacangan. Siompu sendiri adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Buton tempat dimana jenis varietas jeruk lokal ini mula-mula dibudidayakan secara tradisional dan turun temurun dengan menggunakan tradisi pengetahuan dan kearifan lokal.

II.        TAHAPAN PROYEK

a.    Perencanaan
Pada tahun anggaran 1996/1997, pemerintah sulawesi tenggara melalui departemen pertanian tingkat I dan departemen pertanian tingkat II Kabupaten Buton, melalui lembaga OECF – JBIC kedutaan besar Jepang menunjuk dan menetapkan dua kawasan ini  (sampolawa dan Batauga) untuk lokasi proyek P2AH (proyek pengembangan agribisnis dan holtikultura) varietas jeruk siompu dengan sistem ‘okulasi’ (penyambungan batang tanaman). Salah satu alasan dipilihnya kedua wilayah ini sebab jenis tanah dan iklim wilayahnya mendukung serta sudah sejak lama petani kawasan ini melaksanakan kegiatan pembudidayaan tanaman jeruk jenis siompu ini.
         Lokasi proyek tersebar di (delapan) desa masing-masing 5 desa di kecamatan Sampolawa dan 3 desa di kecamatan Batauga, melibatkan 756 KK warga petani dengan 19 kelompok tani. Untuk setiap kelompok tani ini beranggota variatif antara 20 – 60 KK. Total areal yang digunakan untuk proyek ini seluas 500 Ha. Bibit tanaman yang disalurkan kepada petani sejumlah 200.000 pohon. proyek ini sendiri bersifat utang (loan) yang dibebankan pada APBD I propinsi Sulawesi Tenggara dengan nilai anggaran Rp 11 Milyar dengan masa waktu proyek 5 (lima) tahun mulai 1997 – 2002. dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa kelompok tani (para ketua kelompok) diperoleh keterangan bahwa pada proses perencanaan dan konsultasi proyek, warga petani sama sekali tidak dilibatkan. Warga hanya tahu bahwa ini bantuan pemerintah, dan untuk memperolehnya petani cukup menyediakan lahan

         Semua hal yang berkaitan dengan perencanaan proyek dilakukan dengan cara lisan, baik secara perkelompok di tingkat dusun, desa hingga tingkat kecamatan. Saat penelusuran tentang dokumen-dokumen tentang proyek P2AH ini seperti JUKLAK dan JUKNIS proyek, sebagai alat ukur dan pembanding visi dan keberhasilan proyek dengan realitas di lapangan, para pengurus organisasi tani lokal serta NGO pendamping di lapangan mengalami kesulitan untuk memperolehnya akibat birokrasi dinas pertanian Kabupaten Buton maupun instansi daerah terkait lainnya hingga di tingkat propinsi.

b.    Pelaksanaan proyek tahap I (sosialisasi dan pembentukan kelompok tani)
Pada tahun 1997 setalah dilakukan serangkaian sosialisasi tentang visi proyek, masa waktu proyek serta hal-hal lain menyangkut proyek di beberapa kelompok tani secara terpisah di kedua kecamatan tersebut oleh Dinas pertanian dan holtikultura Kab. Buton yang pada pokoknya bagi masyarakat yang ingin mendapatkan bantuan proyek ini, disyaratkan dua hal [okok yakni :

F  Membentuk kelompok tani (KT) dan
F  Memiliki lahan sendiri (tidak dipinjam)

Warga tani yang tertarik dengan iming-iming proyek ini selanjutnya melakukan pembentukan kelompok-kelompok tani sehingga berjumlah 19 kelompok. namun sebelum pembentukan kelompok tani ini oleh dinas pertanian dan holtikultura Kab. Buton dan pelaksana proyek terlebih dahulu diselenggarakan sebuah pelatihan tentang penggalian lubang, jarak tanaman, serta ukuran lubang kepada para petani di dua wilayah proyek tersebut.

c.    Pelaksanaan proyek tahap II (penyaluran bibit tanaman dan kegiatan penanaman oleh petani)
Pada bulan Mei – Juni 1998, bibit tanaman jeruk siompu jenis okulasi telah masuk secara bertahap lewat kelompok-kelompok tani yang telah terbentuk, dan selanjutnya oleh para petani ditindak lanjuti dengan melakukan penanaman bibit tersebut.
         Memasuki bulan agustus – desember 1998, petani mulai menerima penyaluran pupuk dan obat hama tanaman (insektisida) serta menerima pelatihan praktek kerja lapangan cara melakukan pemupukan dan penyemprotan hama melalui dinas pertanian dan holtikultura Kab. Buton. Pada tahap ini beberapa kelompok tani menyampaikan keberatannya atas bibit yang ada berdasarkan pengalaman dan kearifan tradisonal mereka selama ini. Namun tak mendapat perhatian. Melalui para pimpro dan kontraktor proyek, petani diminta untuk menanam saja dulu, serta diyakinkan bahwa bibit okulasi yang didatangkan adalah asli bibit siompu yang sudah melewati tahap penelitian (riset) dan pelabelan resmi dari Balai Benih dan Holtikultura Dinas Pertanian I Sulawesi tenggara.

d.    Pelaksanaan proyek tahap III
Tahun 1999 hingga tahun 2000, sambil melakukan proses pemeliharaan tanaman dan menunggu proses pembuahan perdana, para petani menerima sejumlah pelatihan di tingkat kecamatan antara lain :
1.     Pelatihan manajemen agribisnis P2AH
2.     Pelatihan pengendalian hama dan penyakit
3.     Pelatihan pemberdayaan kelompok tani
4.     Pelatihan pemasaran

Pada tahapan ini, tanaman bari belajar berbuah. Petani yang terbiasa dengan pengalaman dan kearifan lokalnya mengelola dan membudidayakan tanaman jeruk siompu ini, mencurigai bibit okulasi yang didatangkan bukan bibit asli jeruk siompu. Mereka mulai melakukan protes kepada para petugas PPL dan koordinator lapangan proyek antara lain tentang jenis buah yang dihasilkan kecil-kecil dan sifat tanaman tidak sama dengan jeruksiompu yang selama ini mereka kenali. Namun, oleh pihak PPL dan Pimpro serta Koordinator lapangan proyek dijawab : ‘hal tersebit akibat pengaruh batang bawah tanaman, karena ini sistem okulasi’ dan ditambahkan ‘ agar supaya para petani bersabar saja’.

e.    Pelaksanaan proyek tahap IV (masa panen pertama)
Di awal tahun 2000, panen perdana yang dijanjikan sesuai hasil  penyampaian petugas PPL dan petugas pertanian lainnya saat sosialisasi, gagal total. Petani kembali disuruh bersabar dan terus diiming-imingi janji akan keberhasilan proyek ini.

f.     Pelaksanaan proyek tahap IV (monitoring proyek)
Pada tahun 2001, sejumlah pengurus dan anggota kelompok tani dikirim ke Garut Jawa Barat untuk melakukan kegiatan studi banding selama 2 hari. Dan tanaman sudah mulai berbuah secara merata di kebun para petani. Petani resah dengan buah yang dihasilkan oleh tanaman jeruk di kebun mereka, sebab selain sama bentuk, ciri dan jenisnya denga hasil panen yang gagal di tahun pertama (2000) lalu, para petani juga merasa bahwa kesabaran dan pengorbanan mereka untuk proyek ini sudah di luar batas kesanggupan mereka. Apalagi umumnya para petani penerima proyek mengandalkan hidup dari lahan jeruk tersebut. Fungsi monitoring dan evaluasi proyek sama sekali tak dijalankan secara profesional oleh palaksana proyek.

g.    Pelaksanaan proyek tahap VI (masa panen kedua)
Pada tahun 2002, saat dimana tingkat keresahan dan kegundahan petani mulai mencapai klimaksnya akibat tidak adanya tanda-tanda keberhasilan panen, beberapa kelompok tani yang resah dengan hasil proyek, intensif melakukan serangkaian protes dan gugatan kepada pihak pemerintah desa, kecamatan Sampolawa dan Batauga, Dinas pertanian dan holtikultura Kab. Buton, DPRD Buton, serta pihak Kejaksaan Negeri Bau-Bau, serta Tim dari Dinas Pertanian tingak I Sulawesi Tenggara serta pejabat propinsi terkait yang berkunjung ke desa-desa lokasi proyek. umumnya pengaudan dan gugatan ini dilakukan melalui laporan pengaduan secara lisan.

Tim Inspeksi Tanaman dari Dinas Pertanian dan Holtikultura Propinsi Sulawesi Tenggara datang berkunjung ke Lokasi proyek (9 Juli 2002) untuk melihat realitas proyek di lapangan  serta tingkat  keberhasilannya. Sementara itu untuk meredam gejolak dan tuntutan para petani, maka diadakan pelatihan terhadap kelompok-kelompok tani yang diselenggarakan Dinas Pertanian dan Holtikultura Kab. Buton, antara lain :

F  Pelatihan sarana dan prasara kebun
F  Pelatihan berkebun secara benar
F  Pelatihan pasca panen

Pada tanggal 29 Juli 2002, Bupati Buton IR. LM. SYAFEI KAHAR beserta sejumlah pejabat di lingkup Kejaksaan Negeri Bau-Bau serta Dinas Pertanian & Holtikultura Kab. Buton melakukan inspeksi di kedua lokasi proyek dan menyaksikan langsung tanaman jeruk proyek yang gagal total secara merata di kebun-kebun petani (saat itu bertepatan menjelang musim panen).

sejumlah media lokal dan regional sultra seperti Kendari Pos, Kendari Ekspres mulai mengangkat isu ini ke public.
Pada bulan agustus 2002, sejumlah petani dipanggil untuk memberikan keterangan selaku saksi di Kejaksaan Negeri Bau-Bau. Pada bulan agustus ini juga Tim inspeksi dari Polda Sultra dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara melakukan penyelidikan ke Kab. Buton, namun sayangnya tim ini tidak berkunjung langsung ke lokasi-lokasi proyek.

III.       ANALISA MASALAH
Dari hasil investigasi awal dalam bentuk observasi, wawancara mendalam, FGD kepada para petani korban serta sejumlah sumber di lingkup Dinas pertanian dan holtikultura Kab. Buton, ada beberapa penyebab hingga proyek ini mengalami kegagalan, diantaranya :

1.     Sistem perencanaan yang tidak partisipatif (mengabaikan kearifan – kearifan lokal)
Sejak awal proyek ini didesain dari tingkat propinsi (dekosentrasi) dengan mengabaikan konsultasi publik dan partisipasi lokal. Dari pengamatan, wawancara mendalam melalui Focus Group Discussion dengan beberapa kelompok tani di dua lokasi proyek ditemukan ; selain mengabaikan asas partisipatif dan keterlibatan publik dalam perencanaan dan penyusunan kerangka keberhasilan proyek, pihak pelaksanan dan pengelola proyek juga mengabaikan asas transparansi tentang sistem pengelolaan proyek di lapangan

Faktanya, umumnya para petani tak tahu siapa penanggung jawab penyaluran bibit tanaman, bagaimana proses tender proyek dilakukan, termasuk mekanisme penyampaian keluhan/pengaduan, serta masukan dan saran atas proyek tersebut. Akses rakyat penerima proyek terputus komunikasinya sebatas pada Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) di Desa. Rakyat juga tak tahu menahu bahwa dana yang dipakai untuk proyek ini bersumber dari pinjaman luar negeri.

2.     Indikasi kuat adanya manipulasi bibit proyek
Ini didasarkan pada hasil observasi terakhir di lapangan yang dilakukan sepanjang bulan Juni – Agustus 2002 dan dilanjutkan pada Bulan Oktober – Desember 2002 dimana realitas hasil proyek P2AH di dua lokasi proyek ini ditemukan adanya indikasi kuat terjadinya manipulasi dalam pengadaan dan penyaluran bibit tanaman varietas jeruk siompu di lapangan oleh pihak pelaksana proyek utamanya oleh Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Tenggara dan Dinas Pertanian Kabupaten Buton. Ini dilihat dari tabel perbedaan varietas jeruk siompu lokal dengan varietas jeruk okulasi proyek yang diberikan pemerintah berikut ini :

No.
Jenis Siompu Lokal
Varietas Proyek (Jeruk Okulasi)
1.
Kuliat agak kasar, tidak mengkilap, tebal serta  mudah dilepaskan dari daging buah
Kulit halus, mengkilap dan tipis.
2.
Baunya harum manis
Baunya tajam – menusuk
3.
Rasanya manis
Multi rasa (pahit, kecut, dan asam)
4.
Daging buah terdiri dari 8 – 10 ruas
Buahnya kecil terdiri dari 10 – 15 ruas
5.
Batang pohon naik lurus tak melebar, sekitar satu meter baru ada ranting
Batang pohon pada ketinggian 30 cm lalu bercabang/beranting lurus dan melebar
6.
Daunnya tipis dan tidak hitam
Daunnya tebal berwarna agak hitam
7.
Batang pohon berduru
Batang kebanyakan tidak berduri (jarang)
8.
Saat dipetik, buah mudah dilapas dari tangkai
Saat dipetik, buah agak keras untuk dilepaskan dari tangkainya
9.
Masa tanam sampai panen memerlukan waktu 7 (tujuh) tahun
Masa tanam sampai panen memerlukan waktu 1 (satu) tahun

3.     Minimnya sarana dan prasarana pendukung keberhasilan proyek
Terlihat dari :
F  Tidak berfungsinya sarana bak penampungan air (reservoir) sejak selesai dibuat pada tahun 1998. seharusnya sejak awal perencanaan proyek hal ini sudah harus diantisipasi sebelumnya untuk penyediaan sarana pengairan yang cukup, termasuk ketersediaan cadangan pengambilan air petani jika ada gangguan pada bak penampungan yang bersifat permanen dan membutuhkan waktu perbaikan yang relatif panjang
F  Pipa air yang pecah akibat tidak sesuainya debet air yang mengalir dengan kekuatan/daya pipa, namun tak segera diperbaiki walaupun disadari bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan proyek
F  Bak air belum terisi air dan baru dapat digunakan oleh petani setelah ada proyek susulan (rehabilitasi). Sementara untuk melakukan pengairan secara swadaya, masyarakat tani mengalami kesulitan sebab jarak kampung dengan lahan proyek (kebun) berjarak sekitar 1,5 Km dengan kondisi medan yang sulit. Apalagi hal ini dilakukan dengan memikul air menggunakan jerigen

4.    Sistem pembagian dan penyaluran pupuk dan obat hama tanaman yang terlambat dan tidak tepat waktu
Kegiatan pemupukan dilakukan seharusnya pada awal musim hujan (antara desember dan Juni) namun pelaksanaannya senantiasa terlambat sebab pengadaan pupuk dan obat hama tanaman selalu dibagi pada akhir bulan Mei dimana musim hujan mulai berakhir dan sudah memasuki musim kemarau. Kesalahan pihak kontraktor, pimpro dan konsultan proyek ini berakibat fatal sebab kalender musim pertanian yang dianut rakyat selama ini, harus menyesuaikan dengan versi dan mekanisme penyaluran pupuk dan obat hama tanaman yang dilakukan oleh pihak pelaksana proyek.

5.    Masukan saran serta keluhan dari para petani yang disampaikan pada PPL tidak pernah direspon secara cepat dan tepat oleh pihak pelaksana proyek
Beberapa masukan – saran dan keluhan petani yang disampaikan demi kelangsungan dan keberhasilan proyek berdasarkan pengalaman dan kearifan tradisionall rakyat selama ini sejak awal tak dihiraukan dan diperhatikan oleh pelaksana proyek dalam hal ini mulai dari PPL, Kontraktor, Koordinator lapangan hingga kepada Dinas pertanian baik tingkat I maupun Tingkat II. Ini terkait dengan sistem dan filosofi proyek yang mengabaikan keterlibatan rakyat secara partisipatif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi pasca proyek.

6.    Terjadinya saling melempar tanggung jawab di kalangan
Ketika kasus ini telah menjadi sorotan public, pihak pemda propinsi Sultra, Pemda Buton serta pihak terkait lainnya terkesan sangat tertutup dan saling melempar tanggung jawab kepada para perwakilan Organisasi Tani Lokal yang menjadi korban,pemerhati dan penggiat advokasi lingkungan hidup maupun pihak-pihak kritis lainnya, khususnya mengenai akses untuk mendapatkan bahan-bahan serta dokumen yang terkait dengan proyek P2AH tersebut (Juklak dan Juknis proyek, hasil monitoring dan evaluasi proyek, laporan perkembangan penyidikan kasus dll) yang pada prinsipnya merupakan dokumen public.

IV.      ANALISA KERUGIAN PETANI

Berikut analisa kerugian petani atas dampak proyek ini berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh 19 kelompok tani lokal bersama relawan pendamping di lapangan. Perhitungan ini didasarkan pada prinsip bahwa ‘panen dilakukan setahun sekali’ – sesuai janji pihak Dinas Pertanian dan Holtikultura saat sosialisasi di lapangan. Dimasukkan juga asumsi perhitungan berdasarkan harga jual tengkulak, sebagai alat banding dampak proyek bila hal ini tidak diperhitungkan pihak pengelola proyek untuk menyediakan sarana pemasaran hasil proyek.
F  Perhitungan untuk 1 (satu) Ha lahan dalam satu kali panen :

Jika :

1 Ha                         = 400 pohon
1 pohon                    = 200 buah
1 Kg                          = Rp 2.000 (harga tengkulak/papalele)
1 Kg                          = Rp 5.000 (harga pasar lokal)

Maka :
Kerugian petani dengan perhitungan harga tengkulak/papalele adalah :

o   400 pohon x 200 buah = 80.000 buah
o   80.000 buah : 5 buah = 16.000 Kg
o   16.000 Kg x Rp 2.000 = Rp 32.000.000,-

sedangkan berdasarkan harga pasar lokal :

o   400 pohon x 200 buah = 80.000 buah
o   80.000 buah : 5 buah = 16.000 Kg
o   16.000 Kg x 5.000 = 80.000.000,-

sehingga kerugian petani akibat permainan tengkulak :

o   Rp 80.000.000 – 32.000.000,-
o   Rp 48.000.000,-

Kerugian petani untuk total area lahan proyek :

o   Rp 80.000.000 x 500 Ha
o   Rp 40 Milyar
Kerugian petani untuk 3 (tiga) tahun masa proyek (2002 – 2005)
o   Rp 40 milyar x 3 tahun
o   Rp 120 Milyar
Dari perhitungan di atas, tidak mengherankan kalau para petani sempat menghayal bakal naik haji semuanya.


Catatan :
Perhitungan di atas belum termasuk beban kerugian yang dialami petani dan keluarganya yang menderita kehilangan hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya seperti anak-anak putus sekolah, bertambahnya angka pengangguran dan meningkatnya jumlah angka petani miskin serta hilangnya nilai-nilai kearifan bertani, berkebun dan mengelola sumber-sumber daya alam dan agrarian rakyat secara tradisional yang telah dipraktekkan secara turun temurun dan berabad abad lamanya.

V.        Rekomendasi
Berdasarkan hasil investigasi awal Tim pendamping atas proyek pengembangan agribisnis dan holtikultura (P2AH) di lokasi Kecamatan Sampolawa dan Batauga Kab. Buton Sulawesi Tenggara, serta hasil musyawarah dengan Kelompok tani Korban Proyek P2AH jeruk siompu, maka rekomendasi kasus ini adalah :
1.     Kepada pihak JBIC Jepang selaku pemberi pinjaman agar melakukan monitoring dan evaluasi langsung terhadap proyek sampai di tingkat lapangan.
2.     kepada Kepolisian RI in cassu Polda Sulawesi Tenggara untuk segera bertindak tegas mengeluarkan daftar tersangka dan mengungkap jejaring KKN pada proyek P2AH jeruk siompu
3.     kepada Kejagung RI in Cassu Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara untuk segera memproses para pelaku dan jejaring KKN yang terlibat pada proyek P2 AH jeruk siompu.
4.     kepada departemen pertanian, Up Dirjen bina produksi agar segera mengeluarkan dana rehabilitasi/pemulihan bagi para petani.

No comments:

Post a Comment